Sabtu, 16 April 2011

makalah wasiat oleh mahasiswa STAIN AL-FATAH JAYAPURA


BAB I
PENDAHULUAN


A.   Latar Belakang
Yang melatar belakangi penulisan makalah ini adalah sebagai tambahan wawasan kepada kita semua dalam hal berwasiat. Dikalangan umat muslim sekarang ini banyaklah kita lihat seseorang sudah lupa akan wasiat, bahkan menyibukkan dirinya hanya untuk berebut dengan harta warisan yang ditinggalkan si mayit, mereka lupa akan saudara mereka yang kekurangan.
Hal itu membuktikan bahwa perlunya wasiat di buat agar tidak hanya keluarga atau orang yang terdekat dengan si mayit yang menikmati hartanya tetapi orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan hak atas warisan tersebut perlulah kita perhatikan apa lagi dengan kondisinya yang kurang baik dalam perekonomiannya. Dan merupakan suatu kewajiban bagi seorang keluarganya yang masih hidup untuk memperhatikan hal ini. Walaupun si mayit tidak memberikan wasiat kepada orang yang tidak mendapatkan hak waris, namun ia dekat dengan si mayit.
Berwasiat bagi si mayit selain menolong membantu kehidupan orang lain dengan harta yang dimilikinya. Ia pun akan mendapatkan amal jariah yang akan menerangi kubur si mayit.

B.   Permasalahan
Dari latar belakang di atas penulis menarik berapa permasalahan yang akan dibahas antara lain:
a.    Apa yang dimaksud dengan wasiat?
b.    Apa Ciri-ciri Wasiat?
c.    Bagaimana pendapat para ulama’ mengenai wasiat?
BAB II
PEMBAHASAN


A.   Pengertian Wasiat
Wasiat di ambil dari bahasa arab al-washiyah (الوصيه) yang artinya pesan, perintah atau nasehat. Sedangkan pengertian wasiat menurut ulama’ miqh adalah memberikan harta dengan suka rela kepada seseorang yang akan berlaku jika si pewasiat meninggal dunia. Baik harta itu berbentuk material maupun nasehat.
Wasiat juga tidak hanya dikenal dalam system ekonomi Islam saja melainkan system hukum barat misalnya testamen yakni suatu pernyataan yang dikehendaki kepada seseorang yang akan dilakukan setelah wafat.
Menurut Abd Al-Rahim dalam bukunya Al-Muhabadat Fil Al-Miras Al-Muqaram mendefenisikan wasiat adalah tindakan seseorang memberikan hak kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik berupa benda atau manfaat secara suka rela atau tidak mengharapkan imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah peristiwa kematian orang yang berwasiat kematian orang yang berwasiat.
Dalil mengenai wasiat terdapat beberapa hadist dan ayat al-Quran dalam surat An-Nisa ayat 11:
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷ƒuqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3tƒ ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß¡9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur Ÿw tbrâôs? öNßgƒr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇÊÊÈ  
Yang artinya :
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[1]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[2], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Keterkaitan ayat diatas pada surat an-Nisa ayat 34:
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ  


Artinya :
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[3] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[4]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[5], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[6]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (Qs. An-Nisa:24)

Dalam Sunnah, Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Seseorang Muslim yang mempunyai sesuatu yang boleh diwasiatkan tidak sepatutnya tidur dua malam berturut-turut melainkan dia menulis wasiat disisinya.
- Hadis riwayat Bukhari dan Muslim

Hadis ini menyebut kalimah 'tidak sepatutnya' menunjukkan bahwa langkah persediaan perlu diambil oleh setiap seorang Muslim dengan menulis wasiatnya karena dia tidak mengetahui bila ajalnya akan tiba. Kemungkinan kelalaiannya akan mengakibatkan segala hajatnya tergendala dan tidak terlaksana.
Rasulullah s.a.w. turut besabda:
Orang yang malang ialah orang yang tidak sempat berwasiat.
- Hadis riwayat Ibnu Majah
Sabda Rasulullah s.a.w. lagi:
“Siapa yang meninggal dunia dengan meninggal wasiat maka ia mati di atas jalan Islam dan mengikuti Sunnah. Dia mati dalam keadaan taqwa, bersyahadah dan dalam keadaan diampunkan.”
-     Hadis riwayat Ibnu Majjah
Wasiat wajib atas orang yang memiliki harta yang harus diwasiatkan. Allah swt berfirman:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ  
Artinya :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda), maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS al-Baqarah: 180).
Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Orang muslim yang memiliki harta yang akan diwasiatkan tidak berhak tidur dua malam, melainkan wasiatnya sudah tertulis di sisinya.” [7]


B.   Ciri-ciri wasiat
Terdapat beberapa ciri wasiat yang perlu diperhatikan bagi seroang muslim yakni:
1.    Harta yang diwasiatkan mestilah tidak lebih dari sepertiga (1/3) dari harta pusaka bersih, melainkan mendapat persetujuan dari ahli-ahli waris.
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra, ia bertutur: Nabi saw pernah datang menjengukku waktu di Mekkah. Dan, saya tidak suka meninggal dunia di daerah yang saya pernah hijrah darinya. Sabda Beliau, “Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Ibnu Afrak.” (Sa’ad) jawab, “Ya Rasulullah bolehkah saya mewasiatkan seluruh harta kekayaanku?” Jawab Beliau, “Tidak (boleh).” Tanya saya, “Separuh?” Jawab Beliau, “Tidak (juga).” Saya bertanya (lagi), “Sepertiga?” Dijawab, “Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan mampu itu jauh lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin hingga meminta-minta kepada orang lain. Sesungguhnya, betapapun kecilnya belanja yang kau nafkahkan, maka sesungguhnya itu adalah shadaqah, sampai pun sepotong makanan yang kau suapkan ke mulut isterimu (itu adalah shadaqah), dan mudah-mudahan Allah mengangkat (derajat)mu, sehingga orang-orang (muslim) mendapat banyak manfa’at darimu dan orang-orang lain (kaum musyrikin) tertimpa bahaya.” Sedangkan pada waktu itu dia hanya memiliki seorang puteri. [8]
2.    Si penerima hendaklah bukan pewaris atau ahli waris melainkan  yaitu yang tidak ada hak faroid atau hak pembagian harta atas si mayit, melainkan mendapat persetujuan dari pada ahli waris yang lain.
Dari Abu Umamah al-Bahili ra, ia menyatakan: Saya pernah mendengar Rasulullah saw menegaskan dalam khutbahnya pada waktu haji wada’, “Sesungguhnya Allah benar-benar telah memberi setiap orang yang mempunyai hak akan haknya. Oleh karena itu, tak ada wasiat bagi ahli waris.” [9]
3.    Jika penerima wasiat meninggal lebih dulu dari pada si pewasiat, maka masiat tersebut adalah teratal
4.    Jika si penerima waris meninggal setelah menerima wasiat si dan setelah pewasiat meninggal dalam waktu yang berdekatan, maka berhak di berikan atas keluarga si penerima waris.
5.    Setelah kematian pewasiat, perlu ditolak dulu kos perbelanjaan, perkebumian dan pembayaran hutang si mayit.
Dari Ali ra, ia berkata: “Rasulullah saw biasa membayar hutang sebelum (dipenuhinya) wasiat; dan kalian (sering) membaca ayat tentang wasiat, MINBA’DI WASHIYYATIN YUUSHAA BIHAA AU DAIN (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya).” (QS an-Nisaa’: 11) (Hasan: Shahih Ibnu Majah 2195, Irwa-ul Ghalil 1667, Ibnu Majah II: 906 no: 2715, Tirmidzi III: 294 no: 2205).
6.    Wasiat boleh ditarikbalik pada bila-bila masa kerana ia hanya berkuat kuasa selepas kematian pewasiat dan wasiat tersebut perlulah dibuat secara sukarela.
Didalam kitab “Fiqh as Sunnah” disebutkan bahwa rukun wasiat adalah adanya ijab dari orang yang mewasiatkannya baik dengan lafazh maupun dengan isyarat yang bisa difahami atau juga dengan tulisan apabila si pemberi wasiat tidak sanggup berbicara. Kemudian apabila wasiat tidak tertentu, seperti : untuk masjid, tempat pengungsian, sekolah, atau rumah sakit maka ia tidak memerlukan qabul akan tetapi cukup dengan dengan ijab saja sebab dalam keadaan demikian wasiat itu menjadi sedekah. Apabila wasiat ditujukan kepada orang tetentu maka ia memerlukan qabul dari orang yang diberi wasiat

C.    Pendapat Para Ulama’ mengenai wasiat wajibah
Wasiat wajibah adalah Wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.
Ketentuan Wasiat wajibah merupakan hasil ijtihad para ulama dalam menafsirkan surah Al-Baqarah 180 diatas
Ulama menafsirkan Q.S Al-Baqarah 180 berpendapat bahwa Wasiat (kepada ibu – bapak dan kerabat) yang asalnya wajib sampai sekarang pun kewajiban tersebut tetap dan dapat diperlakukan, sehingga pemberian wasiat wajibah kepada walidain dan aqrabin yang mendapatkan bagian harta peninggalan tetap diterapkan dan dilaksanakan, sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa ketentuan wasiat wajibah tidak dapat diterapkan dan dilaksanakan karena ketetapan hukum mengenai  wasiat dalam ayat tersebut telah dinasakh baik oleh Al-Qur’an maupun Hadits.

Para ulama berbeda pendapat tentang pemberian wasiat wajibah ada yang membolehkan dan sebagian melarangnya. Perbedaan ini karena perbedaan menafsirkan surah Al-Baqarah 180 terhadap ketentuan hukum wasiat.
1.    Pendapat yang membolehkan wasiat wajibah
Sebagian ulama berpendapat bahwa wasiat kepada walidin dan aqrabin sampai sekarang masih tetap diberlakukan. Ini merupakan pendapat Abi Abdillah Muhammad bin Umar Al-Razr, Sayyid Quthb, Muhammad Abduh, Said bin Jabir, Rabi’ bin Anas, Qatadah, Muqatil bin Hayyan, Ibnu Abas dan Al-Hasan.
Alasan para ulama membolehkan wasat wajibah adalah:
-       Seluruh Al-Qur’an adalah muhkamat artinya tidak ada yang nasakh dalam Al-Qur’an. Jadi Q.S Al-Baqarah 180 tidak dinasakhkan baik oleh ayat-ayat mawaris ataupun Hadits.
-       Q.S Al-Baqarah 180 dinasakhkan oleh ayat mawaris tetapi hanya sebagian saja.
-       Q.S Al-Baqarah 180 bersifat umum.
2.    Pendapat ulama yang menolak wasiat wajibah
Menurut Ibnu Umar dan Baidhawi mereka berpendapat bahwa ketentuan surah Al-Baqarah 180 telah dinasakhkan dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Alasan para ulama yang tidak memberlakukan wasiat wajibah:
-          Ketentuan wasiat wajibah dalam Al-Baqarah 180 telah dinasakhkan oleh ayat-ayat mawaris.
-          Ketentuan wasiat wajibah dalam Al-Baqarah 180 tidak dapat diterapkan dan dilaksanakan karena ayat tersebut rtelah dinasakhkan oleh Hadits Washiyyati li waritsin buku oleh ayat-ayat mawaris. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Qurtubi.
-          Al-Baqarah 180 tidak dapat diberlakukan karena telah dinasakhkan oleh ayat mawaris dan Hadits Rasulullah SAW. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Baidhawi.
-          Sedangkan menurut Ibnu Katsir menyatakan wasiat wajibah dalam Al-Baqarah 180 tidak dapat diterapkan karena ayat tersebut telah dinasakhkan oleh ijma’.






BAB III
PENUTUP


A.   Kesimpulan
Dari penjelasan dan dalil-dalil qur’an maupun hadist mengenai wasiat sangatlah jelas bahwa yang dimaksud dengan:
1.    Wasiat
2.    Ciri-ciri sebuah wasiat, dan
3.    Perbedaan pendapat para ulama’ mengenai penafsiran pada surat al-Baqarah ayat 180 mengenai wasiat wajibah

B.   Saran
Penulis menyarankan kita sebagai umat Islam harus menggunakan ilmu faraid dalam memecahkan masalah waris agar kita selamat di dunia maupun di akhirat serta memahami perbedaan pendapat yang terjadi kalangan para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an












DAFTAR PUSTAKA


Amin Suma Muhammad, Hukum Keluarga Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2005
DR. Amin bin Abdullah asy-Syaqawi. Menulis Wasiat. Islam House. 2009
Rofiq Ahmad, Fiqh Mawaris. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2001
Sidi Achmad. 2004 .Harta Waris/Pusaka Menurut Perspektif Al Qur'an. 10:17 PM. <e_bacaan@yahoo.com>
Usman Suparman. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Gaya Media. 2002




[1] Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34)
[2] Lebih dari dua Maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.
[3] Maksudnya: tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[4] Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[5] Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[6] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
[7] (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 355 no: 2738, Muslim III: 1249 no: 1627, ’Aunul Ma’bud VIII: 63 no: 2845, Tirmidzi II: 224 no: 981, Ibnu Majah II: 901 no: 2699 dan Nasa’i VI: 238).
[8] (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 363 no: 2742 dan ini lafazh Imam Bukhari, Muslim III: 250 no: 1628, ’Aunul Ma’bud VIII: 64 no: 2847, dan Nasa’i VI: 242).
[9] (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2194, Ibnu Majah II: 905 no: 2713, ‘Aunul Ma’bud VIII: 72 no” 2853 dan Tirmidzi III: 393 no: 2203.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar